Kesadaran Masyarakat Ibukota Tentang Kemacetan dan Mobil Murah
Kesadaran untuk menggunakan transportasi umum, sepertinya belum dapat
dipahami dengan betul oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta.
Hal ini dapat dilihat dari persetujuan bapak Presiden Republik Indonesia yang
menyetujui adanya gagasan mobil murah di Indonesia, yang sering disebut dengan
LCGC (low cost green car). Bila dilihat secara seksama efek dari persetujuan
gagasan ini membawa dampak yang cukup buruk bagi lingkungan dan kondisi jalanan
dijakarta itu sendiri. Seperti yang kita ketahui, jalanan dijakarta sejak
beberapa tahun terakhir ini sudah tidak mampu menampung banyaknya kendaraan
yang setiap tahun semakin meningkat.
Kebijakan LCGC yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian memiliki
berbagai macam tujuan, salah satunya adalah pengembangan industri komponen
lokal dalam negeri. Diharapkan dalam 5 tahun kedepan, 80% komponen LCGC sudah
tidak perlu impor. Menurut survey yang ada, hanya 49% responden yang tahu
mengenai penggunaan komponen lokal dalam LCGC, sisanya tidak tahu tentang
kebijakan ini. Dalam membeli mobil, 41% responden memilih berdasarkan harga,
36% karena spesifikasi dan sisanya karena hal lainnya. Bila responden memiliki
uang terbatas namun memiliki keingin untuk membeli mobil, 23% reponden akan
membeli mobil bekas, 37% akan membeli LCGC dan sisanya menahan keinginan untuk
membeli kendaraan.
Saat ditanya mengenai setuju atau tidak setuju dengan kebijakan LCGC
ini, 49% responden yang mengisi survey ini mengatakan tidak setuju dengan LCGC,
31% setuju dan sisanya tidak memilih. Rata-rata yang tidak setuju berasalan
karena dengan LCGC ini akan meningkatkan kemacetan, ada juga yang berpendapat
bahwa kebijakan ini tidak pro terhadap MOBNAS, dan juga dapat meningkatkan
subsidi BBM. Sedangkan yang setuju dengan LCGC ini berharap agar program ini
disinergikan dengan MOBNAS, dan persebarannya diluar pulau Jabodetabek. Selain
itu, bila semua mobil adalah LCGC, maka akan dapat mengurangi konsumsi BBM.
Yang menarik dari survey yang saya temui ini adalah, hampir 62%
responden lebih memilih menggunakan transportasi publik bila transportasi
publik ada dalam kondisi baik, hemat, murah dan nyaman, hampir 26% akan
mengkombinasikan antara kendaraan pribadi dan tranportasi publik, sisanya tetap
akan menggunakan kendaraan pribadi. Besar sekali harapan masyarakat akan
terciptanya tranportasi publik yang aman, murah dan nyaman. Beberapa tahun
kedepan mungkin harapan ini akan segera tercapai dengan program MRT dan
monorail di jakarta, monorail di bandung dan Surabaya. Kerjasama antara
pemerintah pusat dan derah perlu terus disinergikan, satu sisi industri harus
tetap bergulir agar pertumbuhan ekonomi selalu positif yang akan berimbas pada
penyerapan tenaga kerja, disatu sisi layanan tranportasi bagi masyarakat harus
terus ditingkatkan agar tercipta keamanan dan kenyamanan.
Berdasarkan data Yayasan Pelangi, kemacetan lalu
lintas berkepanjangan di Jakarta menyebabkan pemborosan senilai Rp 8,3 triliun
per tahun. Data yang sama diungkapkan Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia
(MTI) Bambang Susantono, mengacu pada kajian Study on Integrated Transportation
Master Plan for Jabodetabek (SITRAMP 2004). Perhitungan itu mencakup tiga aspek
sebagai konsekuensi kemacetan, yakni pemborosan BBM akibat biaya operasional
kendaraan senilai Rp 3 triliun, kerugian akibat waktu yang terbuang Rp 2,5 tri-
liun, dan dampak kesehatan akibat polusi udara sebesar Rp 2,8 triliun.
Angka kerugian akan terus meningkat secara gradual
seiring kemacetan lalu-lintas yang semakin parah di Jakarta. Tingginya
penggunaan kendaraan bermotor menjadi pemicu utama problem kemacetan di
Jakarta. Bahkan, hingga saat ini tercatat jumlah kendaraan bermotor sudah
mencapai 6,5 juta unit, di mana 6,4 juta unit atau 98,6 persen merupakan
kendaraan pribadi dan 88.477 unit atau sekitar 1,4 persen adalah angkutan umum,
dengan pertumbuhan kendaraan mencapai 11 persen setiap tahunnya. Sedangkan
panjang jalan yang ada 7.650 Km dengan luas 40,1 Km2 atau 6,2% dari luas
wilayah DKI, dengan pertumbuhan jalan hanya sekitar 0.01 % per tahun.
Bandingkan dengan pertumbuhan kendaraan jalan, dari angka itu jelas pertumbuhan
jalan tidak mampu mengejar pertumbuhan kendaraan, sehingga wajar saja terjadi
kemacetan hampir di setiap ruas jalan.
Strategi untuk mengatasi kondisi kemacetan di
jalan-jalan Ibukota, harus segera dilakukan, melalui pengembangan system
transportasi yang sustainable. Sistem transportasi yang berkelanjutan harus
memperhatikan setidaknya tiga komponen penting, yaitu aksesibilitas, kesetaraan
dan pelestarian lingkungan.
·
Upaya aksesibilitas yaitu perencanaaan jaringan transportasi dan
keragaman alat angkutan dengan tingkat integrasi yang tinggi antara satu sama
lain. Perbaikan sistem angkutan umum merupakan solusi utama yang harus segera
dilakukan oleh Pemda DKI. Perilaku masyarakat yang lebih memilih kendaraan
pribadi harus segera dirubah. Angkutan umum yang aman, nyaman dan tepat waktu
serta terintegrasi satu sama lainnya merupakan pilihan lain paling logis yang
dapat merubah perilaku tersebut. Angkutan umum yang baik juga memberikan
peluang bagi semua lapisan masyarakat untuk melakukan perjalanan dengan biaya
yang terjangkau dan aksesibilitas yang tinggi.
·
Upaya kesetaraan melalui penyelenggaraan transportasi yang terjangkau
bagi semua lapisan masyarakat, menjunjung tinggi persaingan bisnis yang sehat,
dan pembagian penggunaan ruang dan pemanfaatan infrastruktur secara adil serta
transparansi dalam setiap pengambilan kebijakan.
·
Upaya pelestarian lingkungan dilakukan dengan memasukan unsur
lingkungan sebagai pertimbangan utama dalam menentukan sistem manajemen
transportasi atau juga moda transportasi yang akan digunakan, upaya ini dapat
ditempuh melalui pertimbangan carrying capacity suatu lingkungan terhadap
kebijakan yang akan diambil, serta penggunaan moda transportasi yang ramah dan
aman terhadap lingkungan.
Demikian data-data yang dapat saya berikan. Semoga kita semua mampu
menjadi manusia yang lebih baik dalam menjaga lingkungan dan kesejahteraan
bersama demi anak cucu kita di masa depan nanti.
Andhika Adhitya Lestary
3SA04//10611712
jurnalistik: Feature
0 comments